KONTEKS WACANA
Menurut Halliday dan Hassan
(1985:5), yang dimaksud dengan konteks wacana adalah teks yang meyertai teks
lain. Menurut kedua penulis itu, pengertian hal yang menyertai teks itu
meliputi tidak hanya yang dilisankan dan dituliskan, tetapi termasuk pula
kejadian yang nonverbal lainnya keseluruhan lingkungan teks itu.
Menurut Brown dan Yule
(1983) menganalisis wacana semestinya menggunakan pendekatan pragmatis untuk
memahami pemakaian bahasa. Misalnya, penganalisis wacana haruslah mempertimbankan
konteks tempat terdapatnya bagian sebuah wacana. Beberapa unsur bahasa yang
paling jelas memerlukan informasi kontekstual adalah bentuk-bentuk deiktis,
seperti di sini, sekaran, saya, kamu, ini, dan itu. Untuk menafsirkan
bentuk-bentuk deiktis itu, analisis wacana bahasa Indonesia perlu mengetahui
siapa penutur dan pendengarnya, waktu dan tempat ujaran itu. Berikut ini adalah
beberapa konsep yang berkaitan dengan konteks wacana, antara lain:
·
Praaggapan
(presupposition),
·
Implikatur,
·
Missing
link inference,
·
Informasi
lama dan baru.
1.
Praaggapan
(Presupposition)
Menurut Filmore
(1981), dalam setiap percakapan selalu digunakan tingkatan-tingkatan komunikasi
yang implisit atau praaggapan dan eksplisit dan ilokusi. Sebagai contoh, ujaran
dapat dinilai tidak tidak relevan atau salah bukan hanya dilihat dari segi cara
pengungkapan pistiwa yang salah pendeskripsiannya, tetapi juga pada cara
membuat peranggapan yang salah.
Kesalahan membuat praanggapan mempunyai efek dalam
ujaran manusia. Dengan kata lain, praanggapan yang tepat dapat memprtinggi
nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkakan. Makin tepat praanggapan yang
dihipotesiskan, makin tinggi nilai komunikasi suatu ujaran. Dalam beberapa hal,
makna wacana dapat dicari melalui praaggapan, namun disisi lain terdapat makna
yang tidak dinyatakan secara eksplisit.
Contoh:
(1)
Ibu
saya dating dari Samarinda
Dalam contoh (1) praanggapan
adalah: (1) saya mempunyai ibu; (2) Ibu ada di Samarinda. Oleh krena itu,
fungsi praanggapan ialah membantu mengurangi hambatan respon orang terhadap
penafsiran suatu ujaran.
Menurut Leech (1981:288),
praanggapan haruslah dianggap sebagai dasar kelancaran wacana yang komunikatif.
Apabila dua orang terlibat dalam suatu percakapan, mereka saling mengisi latar
belakang pengetahuan yang bukan pengetahuan terhadap situasi pada waktu itu,
tetapi pengetahuan terhadap dunia pada umumnya. Begitu percakapan berlanjut,
konteksnya berlanjut dalam arti unsur-unsurnya bertambah. Berikut ini adalah
contoh yang diikuti dengan dasar yang berbeda.
Contoh:
(1)
Ani
menanggis sebelum dia dapat
menyelesaikan pekerjaan tangannya.
(2)
Ani
meninggal sebelum dia dapat menyelesaikan pekerjaan tangannya.
Dalm ujarn (1) praanggapan yang timbul adalah bahwa Ani dapat
menyelesaikan pekerjaan tangannya, sedangkan dalam (2) Hal itu diketahui
berdasarkan penetahuan tentang dunia. Seseorang yang sudah meninggal tidak
mungkin lagi melakukan sesuatu. Jadi, apabila (2) dikembangkan dan didapati
bahwa Ani dapat menyelesaikan pekerjaan tangganya, kedua ujaran tersebut tidak
sesuai.
2.
Implikatur
Konsep implikatur kali pertama dikenalkan oleh
H.P.Grice (1975) untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat
diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur dipakai untuk memperhitungkan
apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang
berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule, 1983:31).
Contoh:
Bersih di sini bukan?(ujaran)
Maka secara implisit penutur menghendaki agar ruangan
tersebut dibersihkan.
Menurut Grice (1975), dalam pemakaian bahasa terdapat
implikatur yang disebut implikatur konvensional, yaitu implikatur yang
ditentukan oleh arti konvensional kata-kata yang dipakai.
Contoh:
(1)
Dia
orang Jawa karena itu dia rajin.
Pada contoh (1) tersebut, penutur tidak secara
langsung menyatakan bahwa suatu ciri (rajin) disebabkan oleh ciri lain (jadi
orang Jawa), tetapi bentuk ungkapan yang dipakai secara konvensional
berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada. Kalau individu yang dimaksud itu
orang Jawa dan tidak rajin, implikaturnya yang keliru, tetapi ujarannya tida
salah. Contoh lain kata pria, kata’ pria’ tentu mengimplikasikan mempunyai
rambut, hidung, atau bibir sehingga hunbungan antarkalimat pada contoh dibawah
ini bersifat koheren, meskipun tanpa kalimat Pria itu mempunyi rambut, hidung,
dan bibir.
Grice (1975), Implikatur percakapan itu mengutip
prinsip kerjasama atu kesepakatan bersama, yakni kesepakatan bahwa hal yang
dibicarakan oleh partisipan harus saling berkait. Grice (1975:45) mengemukakan
prinsip kerjasama sebagai berikut:
Berikanlah
sumbangan Anda pada percakapan sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan tujuan
atau arah pertukaran pembicaraan yang Anda terlibat didalamnya.
Dengan prinsip umum tersebut, dalam perujaran, para penutur disarankan
untuk menyampaikan ujaran sesuai dengan konteks terjadinya peristiwa tutur,
tujuan tutur, dan giliran tutur yang ada. Dalam penerapannya, prinsip kerjasama
tersebut ditopang olehseperangkat asumsi yang disebut prinsip-prinsip
percakapan (maxims of conversation),
yaitu:
·
Prinsip
kuantitas,
·
Prinsip
kualitas,
·
Prinsip
hubungan,dan
·
Prinsip
cara.
a.
Prinsip
Kuantitas
Berikan sumbangan anda seinformatif yang diperlukan, jangan memberikan
sumbangan informasi melebihi yang dibutuhkan.
b.
Prinsip
Kualitas
Jangan mengatakan sesuatu yang anda yakini tidak benar dan jangan
mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan.
c.
Prinsip
Hubungan
Usahakan perkataan anda ada
relevansinya.
d.
Prinsip
Cara
Hindari pernyataan-pernyatan yang samar, usahakan agar ringkas, dan
usahakan berbicara dengan teratur.
3.
Inferensi
Inferensi atau penarikan simpulan dikatakan oleh
Gumperz (1982) sebagai proses interpretasi yang ditentukan oleh situai dan
konteks percakapan. Dengan inferensi pendengar menduga kemauan penutur dan
dengan itu pula, pendengar
meresponya.
Sering terjadi apa yang dimaksud penutur tidak sama
dengan apa yang dianggap pendengar sehingga terkadang jawaban si pendengar
tidak dapat merespon balik atau sering juga terjadi si penutur mengulang
kembali ujarannya dengan cara atau kalimat yang lain supaya dapat di tanggapi
pendengar seluruhnya. Gagasan yang ada dalam otak penutur direalisasikan dalam
bentuk kalimat-kalimat. Kalau tidak pandai-pandai menyusun kalimat atau tidak
pandai-pandai menanggapinnya maka akan terjadi kesalahpahaman.
Contoh:
Ada dua orang teman berjumpa dan perjumpaan itu diceritakan oleh salah
satunya kekawan lainnya. Terjadilah percakapan berikut,
Nurul : “Saya baru
bertemu dengan si Janah.”
Halimah : “Oh, si Janah kawan kita di SMA itu?”
Nurul : “Bukan, tapi
Janah kawan kita waktu kuliah dulu.”
Halimah : “Janah yang berambut panjang itu?”
Nurul : “Bukan, bukan janah yang berambut panjang,
tapi janah yang
Yang berjilbab itu loh?”
Halimah :
“Oh, ya, saya tahu.”
Pada ujaran pertama Halimah
salah tangkap. Yang tergambar dibenaknya adalah si Janah teman SMA. Setelah
diterangkan oleh Nurul bahwa Janah teman waktu kuliah, Halimah salah tangkap
lagi, karea yang diduga adalah Janah yang berambut panjang. Sesudah kalimat ke
tiga dari Nurul, barulah Halimah paham siapa si Janah sebenarnya.
Walaupun tanggapan tentang
si Janah sudah jelas, akan tetapi apa yang dipikirkan oleh Nurul tidaklah dapat
ditanggapi seluruhnya oleh Halimah karena masih banyak hal yang masih tersembunyi, misalnya kapan Nurul bertemunya,
di mana betemunya, berapa jam, dapat dikatakan bahwa yang ditanggapi pendengar
dari ucapan penutur itu hanya beberapa bagian saja dan tidak seluruhnya.
Unsur-unsur
Konteks
Dalam setiap interaksi
verbal selalut terdapat beberapa factor (unsur) yang mengambil peranan dalam
peristiwa itu, misalnya partisipan (penutur dan mitra tutur), pokok
pembicaraan, tempat bicara, dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut mendukung
terwujudnya suatu wacana. Mengutip pendapat Hymes, Brown (1993:89) menyebutkan
bahwa komponen-komponen tutur yang merupakan ciri-ciri konteks, ada delapan
macam, yaitu penutur (addresser), pendengar (addressee), pokok pembicaraan
(topic), latar (setting), penghubung bahasa lisan dan tulisan (channel),
dialek/stailnya (code), bentuk pesan (message), dan peristiwa tutur (speech
event).
a.
Penutur
(addresser) dan Pendengar (addressee)
Penutur dan pendengar yang terlibat dalam peristiwa tutur disebut
partisipan. Berkaitan dengan partisipan, yang perlu diperhatikan adalah latar
belakang (sosial, budaya, dan lain-lain). Mengetahui latar belakang partisipan
(penutur dan pendengar) pada suatu situasi akan memudahkan untuk
menginterpretasikan penuturnya. Makna wacana tertentu akan mempunyai makna yang
berbeda jika dituturkan oleh penuturyan yang berbeda latar belakang, minat, dan
perhatiannya. Perhatikan contoh di bawah ini.
Contoh:
Operasi harus segera diselenggarakan.
Maksud ujaran itu akan segera dapat dipahami manakala kita tahu si
penuturnya. Jika penuturnya seorang dokter, ujaran itu bermakna ‘pembedahan’;
jika yang bertutur seorang ahli ekonomi, maknanya bisa jadi ‘dropping bahan
makanan ke pasar’; jika yang berbicara penjahat, mungkin artinya ‘ perampokan
atau pencurian’; dan jika yang berbicara polisi, maknanya berubah menjadi ‘razia’.
Jadi makna wacana ditentukan oleh siapa pebuturnya. Di samping itu, makna yang
terkandung dalam wacana juga sangat bergantung pada pendengarnya.
Contoh:
Kulitmu halus sekali
Jika ujaran itu diucapkan kepada anak perempuan berumur lima tahun atau
perempuan muda berumur dua puluh tahun atau seorang nenek yang berumur tujuh
puluh tahun, akan mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Kepada anak berumur
lima tahun aau gadis dua puluh empat tahun, mungkin ujaran itu dia tafsirkan
sebagai pujian sedangkan jika pendengarnya nenek berumur delapan puluh tahun
maka akan itafsirkan sebagai penghinaan.
b.
Topik
Pembicaraan
Dengan mengetahui topik pembicaraan, pendengar akan sangat mudah
memahami isi wacana, sebab topik
pembicaraan yang berbeda akan menghasilkan bentuk wacana yang berbeda pula. Di
samping itu, partisipan tutur akan menangkap dan memahami makna wacana
berdasarkan topic yang sedang dibicarakan.
Contoh:
Kata
banting
Dalam sebuah wacana akan bervariatif maknanya, bergantung pada topik
pembicaraannya. Dalm bidang eonomi mungkin berarti’ kemurahan harga’; jika
topiknya olah raga yudo tentulah maknanya’mengangkat seseorang dan
menjatuhkannya dengan cepat’.
c.
Latar
Perstiwa
Faktor lain yang mempengaruhi makna wacana adalah latar peristiwa. Latar
peristiwa dapat berupa tempat, keadaan psikologis partisipan, atau semua hal
yang melatari terjadinya peristiwa tutur. Tempat lebih banyak berpengaruh pada
peristiwa tutur lisan tatap muka sedangkan keadaan psikologis partisipan
disamping berpengaruh pada peristiwa tutur
lisan juga banyak berpengaruh pada peristiw tutur tulis. Di pasar, orang
akan menggunakan bahasa dengan di msjid atau gereja;dala situasi resmi berbeda
dengan situasi tidak resmi.
Contoh:
1.
Seorang
pembeli di pasar menawarbarang dengan menggunakan bentuk wacana resmi dan baku.
Wahai, Nona! Berapa gerangan harga sekilo gula ini,
Nona?
2.
Seorang
menteri ketika berpidato dalam situasi resmi. Menyambut peringatan Hari Ibu,
mengunakan bentuk wacana sebagai berikut.
Sodara, Sodara! Sampean tau to, hari ini hari ibu?
Kalo nggak tahu, ya kebacut gitu aja. Wong sekarang
kita mempringatinya meskipun dalam situasi krismon.
d.
Penghubung
Penghubung adalah medium yang dipakai untuk menyampaikan topik tutur. Untuk
menyampaikan informasi, seorang penutur dapat mepergunakan penghubung dengan
bahasa lisan atau tulisan. Ujaran lisan dapat dibedakan berdasarkan sifat
hubungan partisipan tutur, yaitu langsung dan tida langsung. Hubungan langsung
terjadi dalam dialog tanpa perantara sedangkan tidak langsung terjadi denan perantara
misalnya telepon. Di samping itu, ujaran lisan dapat pula dibedakan
menjadi ragam resmi dan tidak resmi.
Ujarn tulis merupakan sarana komunikai dengan menggunakan tulisan
sebagai perantaranya. Jenis sarana seperti ini dapat berwujud seperti surat,
pengumuman, undangan, dan sebagainya. Pemilihan penghubung tergantung pada
beberapa faktor, yaitu kepada siapa ia berbicara, dalam situasi bagaimana
(dekat atau jauh). Jika dekat tentu dapat secara lisan, tetapi jika jauh harus
secara tulisan.
e.
Kode
Kode dapat dipilih antara salah satu dialek bahasa yang ada. Atau bisa
juga memakai salah satu register (ragam) bahasa yang paling tepat dalam hal
itu. Akanlah sangat ganjil jika ragam bahasa baku dipakai untuk tawar-menawar
barang di pasar. Juga terasa aneh jika ragam nonbaku dipakai berkhotbah di
masjid atau gereja.
f.
Bentuk
Pesan
Pesan yang hendak disampaikan haruslah tepat, karena bentuk pesan
bersifat fundamental dan penting. Banyak pesan yang tidak sampai kepada
pendengar karena. Jika pendengarnya bersifat umum dan dari berbagai lapisan masyarakat
maka harus dipilih bentuk pesan yang bersifat umum, sebaliknya jika
pendengarnya kelompok yang bersifat khusus atau hanya dari satu lapisan
masyarakat tertentu bentuk pesan haruslah bersifat khusus. Isi dan bentuk pesan
harus sesuai karena apabila keduanya tidak sesuai maka pesan atau informasi
yang disampaikan akan susah dicerna pendengar.
Contoh:
Menyampaikan informasi tentang ilmu pasti, harus berbeda dengan
menyampaikan uraian tentang sejarah.
g.
Peristiwa
Tutur
Peristiwa tutur yang dimaksud disini adalah peristiwa tutur tertentu
yang mewadahi kegiatan bertutur. Misalnya pidato, sidang pengadadilan, dan
sebagainya. Hymes (1975:52) menyatakan bahwa peristiwa tutur sangat erat
hubungannya dengan latar peristiwa, dalam pengertian suatu peristiwa tutur
tertentu akan terjadi dalam konteks situasi tertentu. Sesuai dengan
konteksnsituasinya, suatu peristiwa tutur mungkin akan lebih tepat diantarkan
dengan bahasa yang satu sedangkan peristiwa tutur yang lain lebih cocok
diantarkan dengan bahasa yang lain. Peristiwa tutur tersebut dapat menentukan
bentuk dan isi wacana yang akan dihasilkan. Wacana yang dipersiapkan untuk
pidato akan berbeda bentuk dan isinya dengan wacana untuk seminar.
Rincian dalam Konteks
·
Rincian
ciri luar (fisik),
·
Rincian
emosional,
·
Rincian
perbutan, dan
·
Rincian
campuran.
1.
Rincian
Fisik (cirri luar)
Rincian ini dapat melibatkan ciri-ciri yang dimiliki oleh manusia,
benda, binatang secara fisik, atau ciri luar bagian tubuh yang menonjol secara
fisik.
Perhatikan contoh berikut ini.
a.
Pria
yang berkulit putih itu telah menawan hatinya.
b.
Pandangannya
tertuju kepada laki-laki yang tegap, berambut cepak, dengan dahi lebar.
c.
Pemuda
yang berbaju putih itu sangat
mengagumkan.
d.
Saya
yang mencari anak cantik berkulit putih itu, ia adalah ponakan saya.
Unsur yang menjadi cirri
luar (fisik) sebagai upaca rincian dala konteks: pada (a) ‘berkulit putih’,
pada (b)’ tegap’, ‘berambut cepak’, dan ‘dahi lebar’, pada (c)’ berbaju putih’,
dan pada (d) ‘cantik berkulit putih”.
2.
Rincian
Emosional
Rincian emosional berhubungan erat dengan makna
feeling di dalam semantik. Makna feeling (perasaan) berhubungan dengan sikap
pembicara dengan situasi pembicaraan (emosi).
Perhatikan contoh berikut.
a. Gadis cantik soleha itu sedang membantu ibunya
memasak.
b. Anak bandel itu, sekarang berteman dengan anak-anak
yang soleh.
c. Polisi galak
itu sedang sakit, jadi kami merasa kasihan kepada beliau.
d. Wanita liar itu nampak murung, mendapat berita duka
Perhatikan upaya rincian emosional yang terdapat pada
(a) ‘cantik soleha’, pada (b) ‘bandel’, ‘soleh’, pada (c) ‘galak’, dan pada (d)
‘liar’, menerangkan pelaku yang diperjelas dengan rincian emosional.
3. Rincian Perbuatan
Rincian perbuatan menyangkut upaya ragam tindakan
dilakukan atau dialami oleh pelaku atau pengalami di dalam konteks wacana.
Rincian perbuatan menunjukkan atau mengacu pada unsur sebagai ciri acuan (orang, binatang, benda
tertentu).
Perhatikan contoh berikut ini.
a. Laki-laki yang sedang berlari itu, suami saya.
b. Wanita yang menyayi itu, anaknya sudah sekolah dasar.
c. Gadis remaja yang sedang membaca itu, kemarin menjadi
juara cerdas cermat.
d. Gadis yang sedang berdiri di samping itu, senang
bergurau dan rajin mebaca Al-Qur’an.
Upaya yang digunakan pada rincian tersebut adalah:
pada (a)’sedang berlari’, pada (b) ‘menyayi’, pada (c) ‘sedang membaca’ dan
pada (d) sedang berdiri’.
4. Rincian Campuran
Rincian campuran terjadi antara rincian emosional dan
perbuatn, fisik dan perbuatan, atau fisik dan emosional. Upaya yang digunakan
merupakan campuran dari rincian fisik, perbuatan, dan emosional.
Perhatikan contoh berikut ini.
a. Ida yang cantik itu mengambil piring dari dapur, ia
berbaju merah pada waktu itu, serta kulitnya yang putih membuat dirinya nampak
menarik. Gela situ diberikan kepada temannya yang berbadan kekar seperti
anggota TNI, tangannya gemetar saat meletakkan piring diatas meja tadi.
Daftar Rujukan
Arifin, Bustanul. 2004. Analisis Wacana. Malang: Bayumedia
Publishing
Djajasudarma, Fatimah. 2010. Wacana Pemahaman dan
Hubungan Antarunsur.
Bandung: PT Refika Aditama
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusNorhalimah
BalasHapusNIM A1B110239
mengenai konsep yang berkaitan dengan konteks wacana praanggapan, implikatur dan inferensi saya sudah mengerti dengan pemaparan Anda, namun saya masih kurang mengerti bagaimana dengan konsep yang berkaitan dengan konteks wacana informasi lama dan baru? Pada materi tidak menjelaskan tentang itu, hanya menyebutkan. Terima kasih
Sebelumnya saya minta maaf karena tidak menjelaskan mengenai konteks wacana yang mengandung informasi lama dan informasi baru.
HapusJadi yang dimaksud dengan kontek wacana yang mengandung informasi lama dan informasi baru itu adalah konteks yang didalamnya mengandung dua informasi sekaligus. Perhatikan contoh berikut:
1. Doni masih peminum!
Dari contoh diatas dapat kita lihat, bahwa didalamnya mengandung dua informasi sekaligus. Yaiyu informasi lama dan informasi baru. "Doni masih peminum!' berarti tafsirannya dulu doni seorang peminum dan sekarang doni masih seorang peminum.
Nur Hidayati (NIM A1B11217)
BalasHapusPada bagian pembahasan mengenai implikatur Anda menyebutkan 4 prinsip percakapan yaitu prinsip,kuantitas, kualitas, hubungan dan cara.
Saya ingin Anda mencontohkan keempat prinsip percakapan tersebut!
Baik, saudara ida. Sebelum saya memberikan contoh mengenai 4 prinsip percakapan, terlebih dahulu saya akan menjelaskan mengenai 4 prinsip percakapan tersebut diikuti dengan contoh.
Hapus1. Prinsip Kuantitas
Prinsip yang mewajibkan seseorang memberikan informasi seinformatif mungkin.
Contoh: A: Apakah kamu sudah makan?
B: Sudah.
2. Prinsip Kualitas
Jangan mengatakan sesuatau yang tidak pasti kebenaranya.
Contoh: A: Kemarin saya bertemu dengan Ani, sepertinya dia sudah menikah.
B: Yang bener, Kapan?
3. Prinsip Hubungan
Usahakan perkataan yang terucap ada relevansinya atau ada hubungannya mengenai topik yang di bahas.
Contoh: A: Bagaimana kuliahmu?
B: Alhamdulillah lancar aja.
A: Gimana nilai-nilaimu semester kemaren?
B: wah, kalau masah nilai jangan ditanya lagi.
4. Prinsip Cara
Hindari pernyataan-pernyataan yang samar dan usahakan agar berbicara dengan teratur.
Contoh:
A: Kita bertemu lagi pukul 2 siang.
B: Ya.
Di atas telah saya jelaskan mengenai 4 prinsip percakapan beserta contohnya. Pada intinya, bahwa hal yang di bicarakan oleh penutur dan mitra tutur harus saling berkait guna memperoleh kelancara dalam berkomunikasi.
Terima Kasih atas contoh beserta penjelasannya. Saya ingin bertanya lagi dari contoh yang Anda buat untuk bagian prinsip kualitas "jangan mengatakan sesuatu yang tidak pasti kebenarannya" bagaimana dengan realitas kehidupan kita sehari-hari yang sering mengucapkan sesuatu yang tidak pasti, karena takut salah maka kita menggunakan kata sepertinya, mungkin dsb?
BalasHapusBaik, begini saudari ida.
BalasHapusMengapa dalam prinsip kualitas dianjurkan jangan mengatakan sesuatu yang belum pasti kebenaranya. Hal ini ditujukan agar hubungan komunikasi antara penutur dan mitra tutur berlangsung lancara dan tidak tersendat. Hal itu dapat dilihat dari contoh dibawah ini.
A: Kemarin saya bertemu dengan Ani, sepertinya dia sudah menikah.
B: Yang benar, kapan?
Dari contoh diatas bisa disimpulkan. mengapa dilarang mengatakan sesuatu yang belum pasti kebenaranya dengan menggunakan kata sepertinya atau mungkin dalam kehidupan sehari-hari. Jika penutur memberikan informasi yang belum pasti kebenaranya, hal tersebut dapat membingingungkan mita tutur yang dapat mengakibatkan tersendatnya perckapan yang berlangsung. Kesendatan atau ketidaklancaran dalam percakapan inilah yang tidak dikehendaki kehadiranya dalam prinsip percakapan.
KUSNIATI ANDRIANI
BalasHapusNIM A1B110215
Pemaparan matari Anda yang mengenai percakapan selalu digunakan tingkatan-tingkatan komunikasi yang implisit atau praaggapan dan eksplisit dan ilokusi jelaskan beserta dengan contoh? Mksah :)
Begini, mengapa dalam setiap percakapan selalu digunakan tingat-tingkat komunikasi yang implisit atau praanggapan dan eksplisit atau ilokusi?
HapusKarena semangkin tepat praanggapan yang dihipotesiskan maka mangkin tinggi pula ujaran tersebut. Selain itu, praanggapan, eksplisit atau ilokusi dapat membantu mengurangi hambatan respon seseorang dalam menafsirkan ujaran tersebut.
Perhatikan contoh ini:
1. Kakak saya pulang ke Kalimantan Timur.
Pada contoh diatas, memiliki praanggapan bahwa saya memiliki seorang kakak dan kakak saya berada di Kalimantan Timur.
Abdul Gani
BalasHapusA1B108256
Tanggapan saya setelah membaca dan mencoba memahami "konteks wacana" adalah
konteks wacana itu menurut saya memang sangat luas, karena untuk menganalisis unsurnya kita harus memahamii ilmu pragmatik terlebih dahulu. Karena untuk menganalisis wacana itu harus mempertimbangkan konteks di mana tempat terdapatnya wacana tersebut, dari tulisan/tuturan, siapa/bagaimana penuturnya, siapa/bagaimana pendengarnya kapan wacana itu ada(waktu).
Terimakasih kepada saudara Abd. Gani atas tanggapannya.
Hapus